DNA
Extraction (EKSTRAKSI DNA)
Detergent/Salt Solution
Add 20 ml of detergent to 20 g
non-iodized salt and 180 ml of distilled water.
Meat Tenderizer Solution
Add 5 g of meat tenderizer to 95
ml of distilled water.
Ethanol Solution
Add 5 ml of distilled water to 95
ml of ethanol (alcohol). Rubbing alcohol can be substituted. Place this
solution on ice, the colder the better.
Procedure
1. Cut the onion(s) and remove the
center portions. Chop into small pieces and place in blender.
2. Add 100 ml of the
detergent/salt solution
3. Blend on high for 1 minute
4. Strain the mixture into a
beaker using a strainer and coffee filter
5. Add 20 ml meat tenderizer
solution to the mix
6. Place 6 ml of the filtrate into
a test tube.
7. Pour 6 ml of ice cold ethanol
down the side of the test tube to form a layer on top.
8. Let the mixture sit for 2-3
minutes.
9. Use a stirring rod or wooden
stick as a hook to spool and draw the DNA into the alcohol
|
|
Thursday, March 14, 2013
EKSTRAKSI DNA
BIOTEKNOLOGI_BIOINSEKTISIDA
BIOINSEKTISIDA
Drs. Mochamad Solehudin, M.Pd
Terdapat enam kelompok mikroorganisme yang dapat
dimanfaatkan sebagai bioinsektisida, yaitu cendawan, bakteri, virus, nematoda,
protozoa, dan ricketsia.
A. Jenis Bioinsektisida
1. Bakteri
Bacillus
thuringiensis (Bt),
merupakan famili bakteri yang memproduksi kristal protein di inclusion body-nya pada saat ia
bersporulasi. Bioinsektisida Bt merupakan 90-95% dari bioinsektisida yang
dikomersialkan untuk dipakai oleh petani di berbagai negara. Dengan kemajuan teknologi,
gen insektisidal Bt ini telah dapat diisolasi dan diklon sehingga membuka
kemungkinan untuk diintroduksikan ke dalam tanaman. Tanaman yang mengekspresikan
gen Bt ini dikenal dengan sebutan tanaman transgenik Bt. Tanaman transgenik Bt
pertama kali dikomersialkan pada tahun 1995/96 dan sejak itu luas pertanaman
ini meningkat (James, 2000).
Bt telah dikenal sebagai agen
biokontrol sejak tahun 50-an. Bakteri ini tersebar di berbagai tempat pada hampir semua penjuru dunia.
Pertama kali dijumpai di Jepang pada tahun 1901, yang membunuh ulat sutera di
tempat pemeliharaan. Sepuluh tahun kemudian, di Jerman ditemukan strain baru
dari Bt pada larva yang menyerang biji-bijian (serealia) di gudang penyimpanan.
Karena strain berikutnya ditemukan di Propinsi Thuringen, maka bakteri ini
disebut Bacillus
thuringiensis,
yaitu nama yang diberikan pada famili bakteri yang memproduksi kristal paraspora yang bersifat
insektisidal. Semula bakteri ini hanya diketahui menyerang larva dari serangga
kelas Lepidoptera sampai kemudian ditemukan bahwa bakteri ini juga menyerang Diptera
dan Koleoptera (Dent, 1993).
B.
thuringiensis merupakan
bakteri gram-positif berbentuk batang. Jika nutrien di mana dia hidup sangat
kaya, maka bakteri ini hanya tumbuh pada fase vegetatif, na-mun bila suplai
makanannya menu-run maka akan membentuk spora dorman yang mengandung satu atau
lebih jenis kristal protein. Kristal ini mengandung protein yang disebut ∂-endotoksin,
yang bersifat lethal jika dimakan oleh serangga yang peka. Bt yang
dikomersialkan dalam bentuk spora yang membentuk inklusi bodi. Inklusi bodi ini
mengandung kristal protein yang dikeluarkan pada saat bakteri lisis pada masa phase stationary. Produk ini digunakan sebanyak
10-50 g per acre
atau
1020 molekul per acre. Potensi toksisitasnya
berlipat kali dibandingkan dengan pestisida, misalnya 300 kali dibandingkan
dengan sintetik pyrethroid (Feitelson et
al.,
1992). Penggunaan Bt tidak hanya dalam bentuk microbial spray yang berkembang di lapang,
tetapi juga dalam bentuk tanaman transgenik Bt. Sebagai contoh luas penanaman
transgenik Bt di USA meningkat hampir 3 kali lipat, yaitu dari 4 juta ha pada
tahun 1997 menjadi 11,5 ha pada tahun 2000 (James, 2000).
Bacillus
thuringiensis adalah
bakteri yang menghasilkan kristal protein yang bersifat membunuh serangga (insektisidal)
sewaktu mengalami proses sporulasinya (Hofte dan Whiteley, 1989). Kristal
protein yang bersifat insektisidal ini sering dise-but dengan ∂- endotoksin.
Kristal ini sebenarnya hanya merupakan protoksin yang jika larut dalam usus
serangga akan berubah menjadi polipeptida yang lebih pendek (27-149 kd) serta mempunyai
sifat insektisidal. Pada umumnya kristal Bt di alam bersifat protoksin, karena
adanya aktivitas proteolisis dalam system pencernaan serangga dapat mengubah
Bt-protoksin menjadi polipeptida yang lebih pendek dan bersifat toksin. Toksin
yang telah aktif berinteraksi dengan sel-sel epithelium di midgut serangga. Bukti-bukti
telah menunjukkan bahwa toksin Bt ini menyebabkan terbentuknya pori-pori
(lubang yang sangat kecil) pada membrane sel saluran pencernaan dan mengganggu
keseimbangan osmotik dari sel-sel tersebut. Karena keseimbangan osmotik
terganggu, sel menjadi bengkak dan pecah dan menyebabkan matinya serangga
(Hofte dan Whiteley, 1989).
Gen yang mengkode kristal protein yang dihasilkan oleh bakteri
ini telah diisolasi dan dikarakterisasi, dikenal dengan sebutan gen cry yang berasal dari kata crystal. Kristal endotoksin Bt telah dikelompokkan
menjadi delapan kelas utama, yaitu cry1A
sampai cryX
berdasarkan homologi sekuen asam amino di N-terminalnya, berat molekulnya, dan
aktivitas insektisidalnya (Margino dan Mangundihardjo,
2002). Delapan kelas tersebut adalah:
1.
Cry1
yang menyerang serangga lepidoptera
2.
CryII
yang menyerang Lepidoptera dan diptera
3.
CryIII
yang menyerang koleoptera
4.
CryIV
yang menyerang diptera
5.
CryV
yang menyerang Lepidoptera dan koleoptera
6.
CryVI
yang menyerang nematoda
7.
CryIXF
yang menyerang lepidoptera
8.
CryX
yang menyerang lepidoptera
2. Nematoda
Dua genus nematode
pathogen serangga (NPS). Steinemema dan Heterorhabditis, mempunyai beberapa
keunggulan sebagai agensia pengendalian biologi serangga hama dibandingkan
dengan musuh alami lain, yaitu daya bunhnya sangat cepat, kisaran inangnya
luas, aktif mencari inang sehinga efektif untuk mengendalikan serangga dalam
jaringan, tidak menimbulkan resistensi dan mudah diperbanyak ( Balitbang
Bioteknologi, Deptan, 2002).
Mekanisme patogenitas NPS
terjadi melalui simbiosis dengan bakteri pathogen Xenorhabdus untuk
Steinernema dan Photohabdus untuk
Heterorhabditis. Infeksi NPS dilakukan oleh stadium larva instar III atau
juvenile infektif (JL) terjadi melalui
mulut, anus, spirakel atau penetrasi langsung membrane intersegmental
integument yang lunak. Setelah mencapai haemocoel serangga, bakteri simbion
yang dibawa akan dilepaskan ke dalam haemolim untuk berkembang biak dan
memproduksi toksin yang mematikan serangga. NPS sendiri juga mampu menghasilkan
toksin yang mematikan. Dua factor ini yang menyebabkan NPS mempunyai daya bunuh
yang sangat cepat. Serangga yang terinfeksi NPS dapat mati dalam waktu 24-48
jam setelah infeksi. NPS mudah diisolasi dari sampel tanah yang porositasnya
tinggi. Sampel tanah disimpan dalam botol, kemudian diinfestasi dengan ulat
lilin, ulat Hongkong (Tenebrio molitor), atau ulat bamboo. Setelah
diinkubasikan selama 5 hari, ulat akan mati terinfeksi oleh nematoda. Ulat yang
mati terinfeksi Steinernema, tubuhnya berwarna coklat muda, sedangkan yang
terinfeksi Heterorhabditis berwarna coklat tua agak kemerah-merahan. Isolasi
NPS dari tubuh ulat dilakukan dengan cara menempatkan ulat pada cawan petri
yang beralaskan kertas saring basah. Dalam waktu 23 hari, NPS akan keluar dari
tubuh serangga dan masuk ke dalam air di cawan yang lebih besar.
Perbanyakan NPS secara in vivo dilakukan
dengan menggunakan ulat Hongkong (Tenebrio molitor). Ulat Hongkong
dimasukkan dalam bak plastik atau nampan
yang dialasi dengan kertas saring atau kertas koran. Suspensi Jl di:noku:asikan
secara merata pada kertas tersebut. Dalam waktu 7 hari, 80-90% ulat sudah
terinfeksi oleh NPS. Ulat yang ierinfeksi dipindahkan ke rak perangkap yang dialasi
kain. kemudian ditempatkan dalam bak
plastik yang berisi air. Setelah diinkubasikan selama 3-5 hari, Jl NPS akan keluar
dari serangga dan masuk ke dalam air. Satu gram ulat Hongkong bisa menghasilkan
65.000 Jl.
Perbanyakan secara In Vitro dengan
medium buatan sebenarnya lebih sulit dan rumit karena sangat tergantung pada
biakan bakteri primer, tetapi lebih efisien untuk produksi skala besar atau
komersial. Medium yang digunakan adalah bahan berprotein tinggi, seperti
homogenat usus, ekstrak khamir. popton. tepung kodelai, dan lain-lain. Perbanyakan
biasa dilakukan dalam medium cair atau semi padat. Medium semi padat dengan spon paling umum digunakan karena
porositasnya tinggi. Nutrisi untuk
perbanyakan diresapkan ke dalam spon dengan perbandingan 12,5:1. Spon dimasukkan dalam botol atau plastik tahan
panas kemudian disterilisasi. Setelah medium dingin, bakteri simbion fase
primer dlinokuiaslkan ke dalam medium. Bakteri dibiarkan berkembang biak selama
2-3 hari sebelum diinokulasi dengan JL.
NPS dapat dipanen dua minggu kemudian. Setiap 1 gram medium spon dapat menghasilkan
90.000 JL. Perbanyakan dengan medium cair dilakukan dalam bubble column
fermentor untuk memberikan aerasi yang baik bagi perkembangan NPS.
Bioinsektisida NPS telah terbukti efektif
mengendalikan penggerek batang padi, hama lanas (Cylas formicarius),
Lyriomyza, ulatgrayak (Spodoptera litura), penggerek tongkol jagung (Ostrinia
furnacalis), ulat kantong, dan penggerek polong kedelai ( Etiela
zinkenella).
3. Jamur
Beberapa jamur
dapat menyebabkan penyakit pada sebagian serangga. Sekitar 200 jenis serangga cukup
peka dengan penyakit. Atas dasar inilah jamur digunakan sebagai sumber dasar bioinsektisida.
Murahnya teknologi fermentasi, digunakan untuk memproduksi jamur secara massal.
Spora dipanen dan dikemas sehingga dapat dilepas di lapangan. Ketika spora
dilepas, spora menggunakan enzim untuk memecah lapisan luar tubuh serangga. Di
dalam tubuh serangga, spora mulai tumbuh dan menyebabkan kematian. Jenis jamur
yang dapat melakukan bioinsektisida adalah Beauveria bassiana (Bb). Untuk
mengendalikan hama hutan, di Cina lebih dari dua juta hektar di semprot dengan
Bb setiap tahunnya. Bioinsektisida dengan menggunakan Bb memiliki banyak
keuntungan. Jamur tidak berkembang dalam organisme yang memiliki darah hangat
(seperti manusia), juga tidak tahan hidup lama di daerah aliran sungai. Spora
ini dapat bertahan lama saat periode kekeringan dan kondisi lingkungan yang
kasar. Beberapa studi menunjukkan bahwa jamur tidak berbahaya bagi tanaman dan
menjadi tidak aktif oleh sinar ultraviolet matahari dalam 1- 8 minggu.
Cendawan entomopatogen
merupakan salah satu jenis bioinsektisida yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama tanaman. Beberapa
jenis cendawan entomopatogen yang sudah diketahui efektif mengendalikan hama penting
tanaman adalah Beauveria bassiana, Metarhizium anisopliae, Nomuraea rileyi,
Paecilomyces fumosoroseus, Aspergillus parasiticus, dan Erticillium
lecanii. Pada tanaman pangan, keefektifan cendawan biasanya rendah karena tanaman pangan
bersifat semusim. Upaya untuk meningkatkan
keefektifan cendawan dapat dilakukan dengan: 1) melakukan identifikasi jenis
hama utama yang akan dikendalikan, 2) meng-aplikasikan cendawan entomopatogen
pada sore hari dengan konsentrasi konidia minimal 107/ml, 3) mengulang aplikasi
sebanyak tiga kali, dan 4) menambahkan bahan perekat dan bahan pembawa pada
suspensi konidia sebelum diaplikasikan pada hama sasaran (Yusmani Prayogo,
2006).
Keefektifan cendawan
entomopathogen di lapangan juga
ditentukan oleh stadia inang pada saat cendawan diaplikasikan. Biasanya
populasi hama di lapangan sering tumpang tindih, terutama hama dari ordo
Lepidoptera dan Hemiptera. Perubahan stadia instar (nimfa) serangga akan
mempengaruhi perilaku serangga tersebut yang akhirnya akan menentukan
keefektifan cendawan. Keefektifan cendawan entomopathogen
juga ditentukan oleh kondisi lingkungan, seperti curah hujan dan sinar matahari
khususnya sinar ultra violet yang dapat merusak konidia cendawan (Tanada dan
Kaya, 1993; Wahyunendo, 2002; Prayogo, 2004; Suharsono dan Prayogo, 2005). Konidia
merupakan salah satu organ infektif (propagule) cendawan yang
menyebabkan infeksi pada integumen serangga yang diakhiri dengan kematian
Cendawan Metarhizium anisopliae,
misalnya, diketahui dapat menginfeksi beberapa jenis serangga dari ordo
Coleoptera, Lepidoptera, Homoptera, Hemiptera, dan Isoptera. (Lee dan Hou, 1989;
Romero et al, 1997; Luz et al,
1998; Kanga et al, 2003; Strack, 2003). Namun M. anisopliae paling
efektif bila digunakan untuk mengendalikan hama dari ordo Isoptera (Strack,
2003).
4. Virus
Hama serangga juga
peka terhadap virus, sehingga virus sebagai dasar bioinsektisida bermanfaat untuk
mengendalikan penyebaran hama. Contoh virus yang telah diujicobakan adalah
kelompok Baculovirus. Baculovirus mempengaruhi hama serangga seperti hama
penggerek jagung (coren borer), hama penggerek kentang (potato beetle), kutu
penggerek, dan kumbang penghisap. Satu strain tertentu digunakan sebagai agen
pengendali oleh ulat Pseudaletia unipuncta (disebut sebagai bertha army
worm). Ulat ini menyerang Canola, rami, dan tanaman sayuran. Bioinsektisida inipun
memiliki siklus hidup yang pendek dan efektif pada jumlah kecil, aman bagi
manusia dan hewan, jika dibandingkan dengan pestisida sintetik, yang umumnya
hanya berpengaruh pada satu spesies serangga. Walaupun demikian, bioinsektisida
juga memiliki kekurangan, yaitu cara kerjanya lamban dan cara pengaplikasiannya
relatif rumit. Keberhasilan sumber dasar bioinsektisida dipengaruhi oleh faktor
lain seperti temperatur, pH, pengembunan, ultraviolet, kondisi tanah, dan mikroba
kompetitor lainnya yang ada di lingkungan.
Bioinsektisida SlNPV merupakan salah satu produk
unggulan Balitbio, Bogor yang efektif terhadap hama ulatgrayak (Spodoptera
litura) pada kedelai dan beberapa jenis tanaman pangan, industri, dan
sayuran. Bahan aktifnya adalah
nuclear-polyhedrosis
virus, suatu pathogen
serangga dengan strain unggul asli Indonesia. Bioinsektisida SlNPV memiliki
sifat yang menguntungkan karena (a) tidak membahayakan lingkungan, (b) dapat
mengatasi masalah keresistensian hama terhadap insektisida, dan (c) kompatibel
dengan insektisida.
SlNPV
berbentuk batang dan terdapat didalam inclusion bodies yang disebut
polihedra. Polihedra berbentuk kristal bersegi banyak dan berukuran relatif
besar (0,5-15 ยต) sehingga mudah dideteksi dengan mikroskop
perbesaran 600 kali. Polihedra terdapat di dalam inti sel yang rentan dari
serangga inang, seperti hemolimfa, badan lemak, hipodermis, dan matriks trakea.
Ulat yang terinfeksi SlNPV tampak berminyak, disertai dengan membran
integument yang membengkak dan perubahan warna tubuh menjadi pucat-kemerahan,
terutama pada bagian perut. Ulat cenderung merayap ke pucuk tanaman kemudian
mati dalam keadaan menggantung dengan kaki semunya pada bagian tanaman.
Integumen ulat yang mati mengalami lisis dan disintegrasi sehingga sangat
rapuh. Apabila robek, dari dalam tubuh ulat keluar cairan hemolimfa yang
mengandung banyak polihedra. Ulat muda mati dalam 2 hari, sedangkan ulat tua
dalam 4-9 hari setelah infeksi.
SlNPV
memiliki tingkat patogenisitas yang relatif tinggi. Nilai LC50 (= konsentrasi
yang mematikan 50% populasi) untuk ulat instar III sebesar 5,4 x 103
polihedra
inclusion bodies (PIBs)/ml.
Ulat instar I-III lebih rentan terhadap SlNPV daripada ulat instar IV-V.
Tingkat kerentanan ulat instar I 100 kali lebih tinggi daripada ulat instar V.
SlNPV
dapat diproduksi dan dikembangkan sebagai biopestisida sehingga memiliki
prospek komersial. Ada tiga tahapan kegiatan dalam proses produksi biopestisida
SlNPV, yaitu (a) pembiakan massal ulatgrayak dengan pakan buatan, (b)
perbanyakan SlNPV secara in vivo dalam tubuh serang-ga inang,
pemurnian menggunakan sentrifus, dan pembakuan menggunakan haemacytometer, dan
(c) pemformulasian dan pengemasan SlNPV
IMUNITAS (KEKEBALAN)
IMUNITAS (KEKEBALAN)
Imunitas (kekebalan) tubuh terhadap
penyakit merupakan kemampuan tubuh untuk mengontrol/mencegah dan menghilangkan
penyebab penyakit. Imunitas dapat dikategorikan menjadi dua kelompok; 1) imunitas pasif, dan 2) imunitas aktif
Imunitas
aktif terdiri dari; 1) imunitas aktif alamiah, 2) imunitas aktif buatan
(vaksinasi)
Demikian
juga imunitas pasif terdiri dari; 1) imunitas pasif alamiah, 2) imunitas pasif
buatan (vaksinasi)
Imunitas aktif diperoleh tubuh
melalui mekanisme tubuh dalam melawan antigen atau bibit penyakit yang masuk ke
dalam tubuh setelah melewati pertahanan luar (kulit, lendir, keringat, minyak
yang mengandung lisozim). Imunitas aktif dapat diperoleh secara alamiah karena
tubuh terkontaminasi antigen atau bibit penyakit. Sedangkan imunitas aktif buatan
diperoleh karena tubuh secara sengaja dimasuki (injeksi atau oral) dengan
vaksin (antigen atau bibit penyakit yang non aktif).
Vakinasi
yang sudah dilakukan manusia antara lain:
1. Vaksin BCG pencegah tuberkulosis/TBC,
2. Vaksin OPV (polio tetes), pencegah
polio
3. Vaksin campak
4. Vaksin DPT (Difteri, Pertusis,
Tetanus)
5. Vaksin MMR (Measles=gondong, Mumps=campak, dan Rubella)
6. Vaksin
hepatitis B
7. Vaksin HPV (Human Pappiloma Virus) pencegah kanker
serviks
8. Vaksin HiB
(Vaksin meningitis)
9. Vaksin
tifoid, pencegah tifus
10. Vaksin
konjugasi Pneumokokus, pencegah meningitis pada anak-anak
11. IPV (Inactivated Poliovirus Vaccines),pencegah
poliomielitis
12. Vaksin
rotavirus, pencegah penyakit rotavirus pada anak-anak
13. Vaksin
influenza, pencegah influenza
Prinsip
vaksinasi adalah merangsang timbulnya antibody dari sel-sel B dan sel memory
untuk melawan/mengontrol penyakit tertentu
Imunitas pasif diperoleh karena tubuh dimasuki antibodi dari
organisme lain. Imunitas pasif terdiri dari imunitas pasif alamiah. Sedangkan
imunitas pasif buatan diperoleh karena tubuh menerima antibody dalam bentuk
serum yang dimasukkan secara sengaja. Jika antibody berasal dari makhluk hidup
yang sama spesiesnya disebut isoimunitas, jika berasal dari makhluk hidup yang
berbeda spesiesnya disebut heteroimunitas.
Imunitas pasif terdiri dari: imunisasi
pasif alamiah, imunisasi pasif buatan, serum asal hewan. Imunitas pasif alamiah
diperoleh anak dari darah ibu melalui plasenta dan pada saat menyusu.
Contoh
imunitas buatan dengan pemberian serum antibody
antara lain:
1. Immune Serum Globulin (ISG) non
spesifik (Human Normal Immunoglobulin -HNI )
a. Immunoglobulin Intramuskuler
b. Immunoglobulin intravena (IGIV)
2. Immune Serum Globulin (ISG) spesifik
a. Imunoglobulin Spesifik (IgS) dan
antitoksin
b. Immunoglobulin tetanus
c. Immunoglobulin botulinum, pencegah
konstipasi
d. Immunoglobulin hepatitis A
e. Immunoglobulin hepatitis B
f. Immunoglobulin CMV
g. Immunoglobulin Rabies
h. Antitoksin botulinum (dari serum kuda)
i. Antitioksin difteri (dari serum kuda) Antitoksin tetanus
Subscribe to:
Posts (Atom)