Thursday, March 14, 2013

EKSTRAKSI DNA

DNA Extraction (EKSTRAKSI DNA)
Detergent/Salt Solution
Add 20 ml of detergent to 20 g non-iodized salt and 180 ml of distilled water.
The detergent salt solution is used to break down the fat and proteins that make up the cell membrane. The sale causs the phosphate ends of the DNA to come closer together which will make it easier to precipitate out of solution.
Meat Tenderizer Solution
Add 5 g of meat tenderizer to 95 ml of distilled water.
Enzymes in the meat tenderizer will break down proteins
Ethanol Solution
Add 5 ml of distilled water to 95 ml of ethanol (alcohol). Rubbing alcohol can be substituted. Place this solution on ice, the colder the better.
Alcohol is used to precipitate the DNA. Because DNA is soluble in water, alcohol (ethanol) causes the DNA to precipitate and come out of the solution. DNA will rise into the alcohol layer.
Procedure
1. Cut the onion(s) and remove the center portions. Chop into small pieces and place in blender.
2. Add 100 ml of the detergent/salt solution
3. Blend on high for 1 minute
4. Strain the mixture into a beaker using a strainer and coffee filter
5. Add 20 ml meat tenderizer solution to the mix
6. Place 6 ml of the filtrate into a test tube.
7. Pour 6 ml of ice cold ethanol down the side of the test tube to form a layer on top.
8. Let the mixture sit for 2-3 minutes.
9. Use a stirring rod or wooden stick as a hook to spool and draw the DNA into the alcohol















BIOTEKNOLOGI_BIOINSEKTISIDA


BIOINSEKTISIDA
Drs. Mochamad Solehudin, M.Pd

Terdapat enam kelompok mikroorganisme yang dapat dimanfaatkan sebagai bioinsektisida, yaitu cendawan, bakteri, virus, nematoda, protozoa, dan ricketsia.



A. Jenis Bioinsektisida

1.   Bakteri
Bacillus thuringiensis (Bt), merupakan famili bakteri yang memproduksi kristal protein di inclusion body-nya pada saat ia bersporulasi. Bioinsektisida Bt merupakan 90-95% dari bioinsektisida yang dikomersialkan untuk dipakai oleh petani di berbagai negara. Dengan kemajuan teknologi, gen insektisidal Bt ini telah dapat diisolasi dan diklon sehingga membuka kemungkinan untuk diintroduksikan ke dalam tanaman. Tanaman yang mengekspresikan gen Bt ini dikenal dengan sebutan tanaman transgenik Bt. Tanaman transgenik Bt pertama kali dikomersialkan pada tahun 1995/96 dan sejak itu luas pertanaman ini meningkat (James, 2000).
Bt telah dikenal sebagai agen biokontrol sejak tahun 50-an. Bakteri ini tersebar di berbagai  tempat pada hampir semua penjuru dunia. Pertama kali dijumpai di Jepang pada tahun 1901, yang membunuh ulat sutera di tempat pemeliharaan. Sepuluh tahun kemudian, di Jerman ditemukan strain baru dari Bt pada larva yang menyerang biji-bijian (serealia) di gudang penyimpanan. Karena strain berikutnya ditemukan di Propinsi Thuringen, maka bakteri ini disebut Bacillus thuringiensis, yaitu nama yang diberikan pada famili bakteri yang  memproduksi kristal paraspora yang bersifat insektisidal. Semula bakteri ini hanya diketahui menyerang larva dari serangga kelas Lepidoptera sampai kemudian ditemukan bahwa bakteri ini juga menyerang Diptera dan Koleoptera (Dent, 1993).
B. thuringiensis merupakan bakteri gram-positif berbentuk batang. Jika nutrien di mana dia hidup sangat kaya, maka bakteri ini hanya tumbuh pada fase vegetatif, na-mun bila suplai makanannya menu-run maka akan membentuk spora dorman yang mengandung satu atau lebih jenis kristal protein. Kristal ini mengandung protein yang disebut -endotoksin, yang bersifat lethal jika dimakan oleh serangga yang peka. Bt yang dikomersialkan dalam bentuk spora yang membentuk inklusi bodi. Inklusi bodi ini mengandung kristal protein yang dikeluarkan pada saat bakteri lisis pada masa phase stationary. Produk ini digunakan sebanyak 10-50 g per acre atau 1020 molekul per acre. Potensi toksisitasnya berlipat kali dibandingkan dengan pestisida, misalnya 300 kali dibandingkan dengan sintetik pyrethroid (Feitelson et al., 1992). Penggunaan Bt tidak hanya dalam bentuk microbial spray yang berkembang di lapang, tetapi juga dalam bentuk tanaman transgenik Bt. Sebagai contoh luas penanaman transgenik Bt di USA meningkat hampir 3 kali lipat, yaitu dari 4 juta ha pada tahun 1997 menjadi 11,5 ha pada tahun 2000 (James, 2000).
Bacillus thuringiensis adalah bakteri yang menghasilkan kristal protein yang  bersifat membunuh serangga (insektisidal) sewaktu mengalami proses sporulasinya (Hofte dan Whiteley, 1989). Kristal protein yang bersifat insektisidal ini sering dise-but dengan ∂- endotoksin. Kristal ini sebenarnya hanya merupakan protoksin yang jika larut dalam usus serangga akan berubah menjadi polipeptida yang lebih pendek (27-149 kd) serta mempunyai sifat insektisidal. Pada umumnya kristal Bt di alam bersifat protoksin, karena adanya aktivitas proteolisis dalam system pencernaan serangga dapat mengubah Bt-protoksin menjadi polipeptida yang lebih pendek dan bersifat toksin. Toksin yang telah aktif berinteraksi dengan sel-sel epithelium di midgut serangga. Bukti-bukti telah menunjukkan bahwa toksin Bt ini menyebabkan terbentuknya pori-pori (lubang yang sangat kecil) pada membrane sel saluran pencernaan dan mengganggu keseimbangan osmotik dari sel-sel tersebut. Karena keseimbangan osmotik terganggu, sel menjadi bengkak dan pecah dan menyebabkan matinya serangga (Hofte dan Whiteley, 1989).
Gen yang mengkode kristal protein yang dihasilkan oleh bakteri ini telah diisolasi dan dikarakterisasi, dikenal dengan sebutan gen cry yang berasal dari kata crystal. Kristal endotoksin Bt telah dikelompokkan menjadi delapan kelas utama, yaitu cry1A sampai cryX berdasarkan homologi sekuen asam amino di N-terminalnya, berat molekulnya, dan aktivitas insektisidalnya (Margino dan  Mangundihardjo, 2002). Delapan kelas tersebut adalah:
1. Cry1 yang menyerang serangga lepidoptera
2. CryII yang menyerang Lepidoptera dan diptera
3. CryIII yang menyerang koleoptera
4. CryIV yang menyerang diptera
5. CryV yang menyerang Lepidoptera dan koleoptera
6. CryVI yang menyerang nematoda
7. CryIXF yang menyerang lepidoptera
8. CryX yang menyerang lepidoptera

2.   Nematoda
Dua genus nematode pathogen serangga (NPS). Steinemema dan Heterorhabditis, mempunyai beberapa keunggulan sebagai agensia pengendalian biologi serangga hama dibandingkan dengan musuh alami lain, yaitu daya bunhnya sangat cepat, kisaran inangnya luas, aktif mencari inang sehinga efektif untuk mengendalikan serangga dalam jaringan, tidak menimbulkan resistensi dan mudah diperbanyak ( Balitbang Bioteknologi, Deptan, 2002).
Mekanisme patogenitas NPS terjadi melalui simbiosis dengan bakteri pathogen Xenorhabdus untuk Steinernema  dan Photohabdus untuk Heterorhabditis. Infeksi NPS dilakukan oleh stadium larva instar III atau juvenile infektif (JL)  terjadi melalui mulut, anus, spirakel atau penetrasi langsung membrane intersegmental integument yang lunak. Setelah mencapai haemocoel serangga, bakteri simbion yang dibawa akan dilepaskan ke dalam haemolim untuk berkembang biak dan memproduksi toksin yang mematikan serangga. NPS sendiri juga mampu menghasilkan toksin yang mematikan. Dua factor ini yang menyebabkan NPS mempunyai daya bunuh yang sangat cepat. Serangga yang terinfeksi NPS dapat mati dalam waktu 24-48 jam setelah infeksi. NPS mudah diisolasi dari sampel tanah yang porositasnya tinggi. Sampel tanah disimpan dalam botol, kemudian diinfestasi dengan ulat lilin, ulat Hongkong (Tenebrio molitor), atau ulat bamboo. Setelah diinkubasikan selama 5 hari, ulat akan mati terinfeksi oleh nematoda. Ulat yang mati terinfeksi Steinernema, tubuhnya berwarna coklat muda, sedangkan yang terinfeksi Heterorhabditis berwarna coklat tua agak kemerah-merahan. Isolasi NPS dari tubuh ulat dilakukan dengan cara menempatkan ulat pada cawan petri yang beralaskan kertas saring basah. Dalam waktu 23 hari, NPS akan keluar dari tubuh serangga dan masuk ke dalam air di cawan yang lebih besar.
Perbanyakan NPS secara in vivo dilakukan dengan menggunakan ulat Hongkong (Tenebrio molitor). Ulat Hongkong dimasukkan dalam  bak plastik atau nampan yang dialasi dengan kertas saring atau kertas koran. Suspensi Jl di:noku:asikan secara merata pada kertas tersebut. Dalam waktu 7 hari, 80-90% ulat sudah terinfeksi oleh NPS. Ulat yang ierinfeksi dipindahkan ke rak perangkap yang dialasi  kain. kemudian ditempatkan dalam bak plastik yang berisi air. Setelah diinkubasikan selama 3-5 hari, Jl NPS akan keluar dari serangga dan masuk ke dalam air. Satu gram ulat Hongkong bisa menghasilkan 65.000 Jl.
Perbanyakan secara In Vitro dengan medium buatan sebenarnya lebih sulit dan rumit karena sangat tergantung pada biakan bakteri primer, tetapi lebih efisien untuk produksi skala besar atau komersial. Medium yang digunakan adalah bahan berprotein tinggi, seperti homogenat usus, ekstrak khamir. popton. tepung kodelai, dan lain-lain. Perbanyakan biasa dilakukan dalam medium cair atau semi padat. Medium semi  padat dengan spon paling umum digunakan karena porositasnya tinggi. Nutrisi  untuk perbanyakan diresapkan ke dalam spon dengan perbandingan 12,5:1.  Spon dimasukkan dalam botol atau plastik tahan panas kemudian disterilisasi. Setelah medium dingin, bakteri simbion fase primer dlinokuiaslkan ke dalam medium. Bakteri dibiarkan berkembang biak selama 2-3 hari sebelum diinokulasi  dengan JL. NPS dapat dipanen dua minggu kemudian. Setiap 1 gram medium spon dapat menghasilkan 90.000 JL. Perbanyakan dengan medium cair dilakukan dalam bubble column fermentor untuk memberikan aerasi yang baik bagi perkembangan NPS.
Bioinsektisida NPS telah terbukti efektif mengendalikan penggerek batang padi, hama lanas (Cylas formicarius), Lyriomyza, ulatgrayak (Spodoptera litura), penggerek tongkol jagung (Ostrinia furnacalis), ulat kantong, dan penggerek polong kedelai ( Etiela zinkenella).

3. Jamur
Beberapa jamur dapat menyebabkan penyakit pada sebagian serangga. Sekitar 200 jenis serangga cukup peka dengan penyakit. Atas dasar inilah jamur digunakan sebagai sumber dasar bioinsektisida. Murahnya teknologi fermentasi, digunakan untuk memproduksi jamur secara massal. Spora dipanen dan dikemas sehingga dapat dilepas di lapangan. Ketika spora dilepas, spora menggunakan enzim untuk memecah lapisan luar tubuh serangga. Di dalam tubuh serangga, spora mulai tumbuh dan menyebabkan kematian. Jenis jamur yang dapat melakukan bioinsektisida adalah Beauveria bassiana (Bb). Untuk mengendalikan hama hutan, di Cina lebih dari dua juta hektar di semprot dengan Bb setiap tahunnya. Bioinsektisida dengan menggunakan Bb memiliki banyak keuntungan. Jamur tidak berkembang dalam organisme yang memiliki darah hangat (seperti manusia), juga tidak tahan hidup lama di daerah aliran sungai. Spora ini dapat bertahan lama saat periode kekeringan dan kondisi lingkungan yang kasar. Beberapa studi menunjukkan bahwa jamur tidak berbahaya bagi tanaman dan menjadi tidak aktif oleh sinar ultraviolet matahari dalam 1- 8 minggu.
Cendawan entomopatogen merupakan salah satu jenis bioinsektisida yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama tanaman. Beberapa jenis cendawan entomopatogen yang sudah diketahui efektif mengendalikan hama penting tanaman adalah Beauveria bassiana, Metarhizium anisopliae, Nomuraea rileyi, Paecilomyces fumosoroseus, Aspergillus parasiticus, dan Erticillium lecanii. Pada tanaman pangan, keefektifan  cendawan biasanya rendah karena tanaman pangan bersifat semusim. Upaya untuk  meningkatkan keefektifan cendawan dapat dilakukan dengan: 1) melakukan identifikasi jenis hama utama yang akan dikendalikan, 2) meng-aplikasikan cendawan entomopatogen pada sore hari dengan konsentrasi konidia minimal 107/ml, 3) mengulang aplikasi sebanyak tiga kali, dan 4) menambahkan bahan perekat dan bahan pembawa pada suspensi konidia sebelum diaplikasikan pada hama sasaran (Yusmani Prayogo, 2006).
            Keefektifan cendawan entomopathogen di  lapangan juga ditentukan oleh stadia inang pada saat cendawan diaplikasikan. Biasanya populasi hama di lapangan sering tumpang tindih, terutama hama dari ordo Lepidoptera dan Hemiptera. Perubahan stadia instar (nimfa) serangga akan mempengaruhi perilaku serangga tersebut yang akhirnya akan menentukan keefektifan cendawan. Keefektifan cendawan entomopathogen juga ditentukan oleh kondisi lingkungan, seperti curah hujan dan sinar matahari khususnya sinar ultra violet yang dapat merusak konidia cendawan (Tanada dan Kaya, 1993; Wahyunendo, 2002; Prayogo, 2004; Suharsono dan Prayogo, 2005). Konidia merupakan salah satu organ infektif (propagule) cendawan yang menyebabkan infeksi pada integumen serangga yang diakhiri dengan kematian
Cendawan Metarhizium anisopliae, misalnya, diketahui dapat menginfeksi beberapa jenis serangga dari ordo Coleoptera, Lepidoptera, Homoptera, Hemiptera, dan Isoptera. (Lee dan Hou, 1989; Romero et al,  1997; Luz et al, 1998; Kanga et al, 2003; Strack, 2003). Namun M. anisopliae paling efektif bila digunakan untuk mengendalikan hama dari ordo Isoptera (Strack, 2003).

4. Virus          
Hama serangga juga peka terhadap virus, sehingga virus sebagai dasar bioinsektisida bermanfaat untuk mengendalikan penyebaran hama. Contoh virus yang telah diujicobakan adalah kelompok Baculovirus. Baculovirus mempengaruhi hama serangga seperti hama penggerek jagung (coren borer), hama penggerek kentang (potato beetle), kutu penggerek, dan kumbang penghisap. Satu strain tertentu digunakan sebagai agen pengendali oleh ulat Pseudaletia unipuncta (disebut sebagai bertha army worm). Ulat ini menyerang Canola, rami, dan tanaman sayuran. Bioinsektisida inipun memiliki siklus hidup yang pendek dan efektif pada jumlah kecil, aman bagi manusia dan hewan, jika dibandingkan dengan pestisida sintetik, yang umumnya hanya berpengaruh pada satu spesies serangga. Walaupun demikian, bioinsektisida juga memiliki kekurangan, yaitu cara kerjanya lamban dan cara pengaplikasiannya relatif rumit. Keberhasilan sumber dasar bioinsektisida dipengaruhi oleh faktor lain seperti temperatur, pH, pengembunan, ultraviolet, kondisi tanah, dan mikroba kompetitor lainnya yang ada di lingkungan.
Bioinsektisida SlNPV merupakan salah satu produk unggulan Balitbio, Bogor yang efektif terhadap hama ulatgrayak (Spodoptera litura) pada kedelai dan beberapa jenis tanaman pangan, industri, dan sayuran. Bahan aktifnya adalah
nuclear-polyhedrosis virus, suatu pathogen serangga dengan strain unggul asli Indonesia. Bioinsektisida SlNPV memiliki sifat yang menguntungkan karena (a) tidak membahayakan lingkungan, (b) dapat mengatasi masalah keresistensian hama terhadap insektisida, dan (c) kompatibel dengan insektisida.
SlNPV berbentuk batang dan terdapat didalam inclusion bodies yang disebut polihedra. Polihedra berbentuk kristal bersegi banyak dan berukuran relatif besar (0,5-15 ยต) sehingga mudah dideteksi dengan mikroskop perbesaran 600 kali. Polihedra terdapat di dalam inti sel yang rentan dari serangga inang, seperti hemolimfa, badan lemak, hipodermis, dan matriks trakea. Ulat yang terinfeksi SlNPV tampak berminyak, disertai dengan membran integument yang membengkak dan perubahan warna tubuh menjadi pucat-kemerahan, terutama pada bagian perut. Ulat cenderung merayap ke pucuk tanaman kemudian mati dalam keadaan menggantung dengan kaki semunya pada bagian tanaman. Integumen ulat yang mati mengalami lisis dan disintegrasi sehingga sangat rapuh. Apabila robek, dari dalam tubuh ulat keluar cairan hemolimfa yang mengandung banyak polihedra. Ulat muda mati dalam 2 hari, sedangkan ulat tua dalam 4-9 hari setelah infeksi.

SlNPV memiliki tingkat patogenisitas yang relatif tinggi. Nilai LC50 (= konsentrasi yang mematikan 50% populasi) untuk ulat instar III sebesar 5,4 x 103
polihedra inclusion bodies (PIBs)/ml. Ulat instar I-III lebih rentan terhadap SlNPV daripada ulat instar IV-V. Tingkat kerentanan ulat instar I 100 kali lebih tinggi daripada ulat instar V.
SlNPV dapat diproduksi dan dikembangkan sebagai biopestisida sehingga memiliki prospek komersial. Ada tiga tahapan kegiatan dalam proses produksi biopestisida SlNPV, yaitu (a) pembiakan massal ulatgrayak dengan pakan buatan, (b) perbanyakan SlNPV secara in vivo dalam tubuh serang-ga inang, pemurnian menggunakan sentrifus, dan pembakuan menggunakan haemacytometer, dan (c) pemformulasian dan pengemasan SlNPV  

IMUNITAS (KEKEBALAN)


IMUNITAS (KEKEBALAN)
Imunitas (kekebalan) tubuh terhadap penyakit merupakan kemampuan tubuh untuk mengontrol/mencegah dan menghilangkan penyebab penyakit. Imunitas dapat dikategorikan menjadi dua kelompok;  1) imunitas pasif, dan 2) imunitas aktif
Imunitas aktif terdiri dari; 1) imunitas aktif alamiah, 2) imunitas aktif buatan (vaksinasi)
Demikian juga imunitas pasif terdiri dari; 1) imunitas pasif alamiah, 2) imunitas pasif buatan (vaksinasi)
            Imunitas aktif diperoleh tubuh melalui mekanisme tubuh dalam melawan antigen atau bibit penyakit yang masuk ke dalam tubuh setelah melewati pertahanan luar (kulit, lendir, keringat, minyak yang mengandung lisozim). Imunitas aktif dapat diperoleh secara alamiah karena tubuh terkontaminasi antigen atau bibit penyakit. Sedangkan imunitas aktif buatan diperoleh karena tubuh secara sengaja dimasuki (injeksi atau oral) dengan vaksin (antigen atau bibit penyakit yang non aktif).
Vakinasi yang sudah dilakukan manusia antara lain:
1.     Vaksin BCG pencegah tuberkulosis/TBC,
2.     Vaksin OPV (polio tetes), pencegah polio
3.     Vaksin campak
4.     Vaksin DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus)
5.      Vaksin MMR (Measles=gondong, Mumps=campak, dan Rubella)
6.      Vaksin hepatitis B
7.      Vaksin HPV (Human Pappiloma Virus) pencegah kanker serviks
8.      Vaksin HiB (Vaksin meningitis)
9.      Vaksin tifoid, pencegah tifus
10.  Vaksin konjugasi Pneumokokus, pencegah meningitis pada anak-anak
11.  IPV (Inactivated Poliovirus Vaccines),pencegah poliomielitis
12.  Vaksin rotavirus, pencegah penyakit rotavirus pada anak-anak
13. Vaksin influenza, pencegah influenza
Prinsip vaksinasi adalah merangsang timbulnya antibody dari sel-sel B dan sel memory untuk melawan/mengontrol penyakit tertentu
            Imunitas pasif  diperoleh karena tubuh dimasuki antibodi dari organisme lain. Imunitas pasif terdiri dari imunitas pasif alamiah. Sedangkan imunitas pasif buatan diperoleh karena tubuh menerima antibody dalam bentuk serum yang dimasukkan secara sengaja. Jika antibody berasal dari makhluk hidup yang sama spesiesnya disebut isoimunitas, jika berasal dari makhluk hidup yang berbeda spesiesnya disebut heteroimunitas.
Imunitas pasif terdiri dari: imunisasi pasif alamiah, imunisasi pasif buatan, serum asal hewan. Imunitas pasif alamiah diperoleh anak dari darah ibu melalui plasenta dan pada saat menyusu.
Contoh imunitas buatan dengan pemberian serum antibody  antara lain:
1.     Immune Serum Globulin (ISG) non spesifik (Human Normal Immunoglobulin -HNI )
a.     Immunoglobulin Intramuskuler
b.     Immunoglobulin intravena (IGIV)
2.     Immune Serum Globulin (ISG) spesifik
a.     Imunoglobulin Spesifik (IgS) dan antitoksin
b.     Immunoglobulin tetanus
c.      Immunoglobulin botulinum, pencegah konstipasi
d.     Immunoglobulin hepatitis A
e.     Immunoglobulin hepatitis B
f.       Immunoglobulin CMV
g.     Immunoglobulin Rabies
h.     Antitoksin botulinum (dari serum kuda)
i.       Antitioksin difteri (dari serum kuda) Antitoksin tetanus